Oleh: Ngatawi Al-Zastrouw
Penulis adalah Seorang Budayawan dan Kepala Makara Art Center Universitas Indonesia
PERBINCANGAN kami, Tim BPIP, dengan tetua adat Marapu di Kampung Tarung semakin lengkap dengan kehadiran Rato Lado Regi Tera. Beliau adalah putra mama Rato yang didaulat menjadi Ketua adat Marapu.
Sebagai Ketua adat dia berhak mengambil keputusan yang terkait dengan adat seperti menentukan waktu upacara, waktu bangun rumah, waktu tanam dan memimpin upacara adat dan ritual kematian.
Sambil duduk santai di beranda rumah adat, Bapa Rato menjelaskan berbagai macam prosedur upacara adat kematian dan perkawinan. Dalam adat Marapu orang yang mati tidak di kubur dalam posisi rebah, tetapi dimasukkana ke dalam lubang batu yang dibentuk seperti sumur dalam posisi duduk dengan kedua kaki menekuk dan kedua tangan merangkul lutut seperti posisi bayi yang ada dalam kandungan.
PERBINCANGAN kami, Tim BPIP, dengan tetua adat Marapu di Kampung Tarung semakin lengkap dengan kehadiran Rato Lado Regi Tera. Beliau adalah putra mama Rato yang didaulat menjadi Ketua adat Marapu.
Sebagai Ketua adat dia berhak mengambil keputusan yang terkait dengan adat seperti menentukan waktu upacara, waktu bangun rumah, waktu tanam dan memimpin upacara adat dan ritual kematian.
Sambil duduk santai di beranda rumah adat, Bapa Rato menjelaskan berbagai macam prosedur upacara adat kematian dan perkawinan. Dalam adat Marapu orang yang mati tidak di kubur dalam posisi rebah, tetapi dimasukkana ke dalam lubang batu yang dibentuk seperti sumur dalam posisi duduk dengan kedua kaki menekuk dan kedua tangan merangkul lutut seperti posisi bayi yang ada dalam kandungan.
Dilihat dari penjelasan serta benda-benda ritual yang ada, terlihat bahwa kepercayaan Marapu bersumber dari pada zaman megalitik.
Menurut kajian antropologi kepercayaan masyarakat megalitik pada intinya meyakini bahwa roh leluhur yang sudah mati tidak pergi meninggalkan dunia secara total sehingga terputus hubungannya dengan alam dunia.
Menurut kepercayaan Marapu yang diajarkan secara turun temurun, para leluhur yang datang pertama kali ke Sumba sangat dihormati keturunanya hingga saat ini. Mereka menjadikan arwah para leluhur merupakan perantara untuk berkomunikasi kepada Tuhan. Mereka memuja arwah leluhur sebagai perantra memuja pada Tuhan.
Hal jelas kitakan oleh Bapa Rato, bahwa masyarakat Marapu adalah masyarakat yang percaya pada Tuhan sebagai Pencipta alam. Karena Tuhan adalah yang maha tinggi, maka manusia yang ada di dunia ini tidak akan mampu menggapai dan berkomunikasi denganNya secara langsung. Oleh karena itu diperlukan perantara, dan arwah para lelhur yang sudah meninggal inilah yang bisa menjadi perantara antara Tuhan dengan manusia yang ada di dunia.
Dalam konsep teologi masyarakat Sumba Tuhan, dikenal dengan istilah Hupu Ina-Hupu Ama (Ibu dan Bapa segala sesuatu). Tuhan dikonsepsikan sebagai kekuatan adikodrati yang berada di tempat jauh di atas. Selain itu juga konsep Marapu, yaitu penghubung antara Tuhan dan manusia.. Konsep Marapu inilah yang membuat kepercayaan adat di Sumba disebut dengan Marapu.
Menurut keyakinan masyarakat Sumba, sebelum para Marapu turun ke bumi, hubungan antara manusia dengan Tuhan, sebagai penguasa tertinggi, dapat dilakukan secara langsung. Namun ketika para Marapu memutuskan untuk tinggal di bumi, maka hubungan antara Tuhan dan manusia menjadi terputus.
Hubungan antara Tuhan dengan dengan manusia yang ada di alam dunia hanya dapat dilakukan melalui perantara arwah nenek moyang, yaitu para Marapu. Melalui Marapu inilah manusia dapat memohon pertolongan dan petunjuk kepada Hupu Ina-Hupu Ama. Demikian sebaliknya melalui Marapu pula Hupu Ina-Hupu Ama mengirimkan pesan atau jawaban atas permohonan dan petunjuk yang disampaikan manusia yang masih hidup di dunia.
Melihat peran dan fungsinya bisa dikatakan bahwa Marapu merupakan representasi keberadaan Tuhan (Hupu Ina-Hupu Ama) di alam dunia. Sebagai representasi atau wakil Tuhan di dunia, maka Marapu harus dipuja, karena dengan memuja Marapu maka Dia akan memberikan pertolongan, perlindungan dan keselamatan, kesuburan dan kebahagiaan. Demikian sebaliknya, jika jika Marapu tidak disembah maka akan menimbulkan malapetaka, bencana dan kesusahan serta hal-hal buruk lainnya.
Selain menjelaskan konsep teologi (ketuhanan) pembicaraan senja itu juga membahas kosmologi masyarakat Marapu. Dari penjelasan Bapa Rato telihat bahwa dalam kosmologi adat Marapu alam semesta ini terdiri dari tiga lapisan yaitu: lapisan atas (langit), lapisan tengah (bumi) dan lapisan bawah (bawah bumi).
Penguasa tertinggi dari seluruh alam disebut Anatala yang disebut juga Hupu Ina dan Hupu Ama (Ibu Bapa segala sesuatu) yang tinggal di langit. Dalam konsepsi kepercayaan Marapu, langit terdiri dari delapan petala (lapis) yang berbentuk kerucut. Lapis pertama disebut Awanggu Walu Ndani ( lapis langitkedelapan ) yang disebut dengan Hupu Ina-Hupu Ama yang tinggal bersama para Marapu.
Berdasarkan penjelasan dari Rato Lado, kepercayaan merupakan sistem keyakinan yang berdasarkan kepada arwah para leluhur, hal-hal yang bersifat supra natural dan kekuatan gaib lainnya. Kepercayaan inilah yang membuat Suku Marapu memuja arwah para leluhur melalui berbagai ritus dan upacara adat. Ritual pemujaan ini memiliki keterkiatan dengan kehidupan sehari-hari, seperti dalam berinteraksi dengan alam yang melahirkan tata cara bertani dan menjaga hutan. Semua ada hitungan dan mekanismenya.
Selain upacara kematian, menurut penjelasan Roto, ada dua pacara adat yang utama dari kepercayaan Marapu yaitu Wulla Poddhu dan Pasola. Wulla Poddhu adalah upacara adat yang dilaksanakan pada bulan Suci penurut penanggalan Marapu. Selama bulan ini terdapat sejunlah larangan yang harus dipatuhi. Selama Wulla Poddhu tidak boleh membangun dan memperbaiki rumah, dilarang berhubungan badan dengan pasangan, bahkan jika ada yang meninggal sekalipun dilarang memukul gong dan menangisi.
Selama Wulla Poddhu, penganut Marapu wajib berpuasa dengan tidak memakan daging babi dan anjing. Selama berpuasa mereka hanya boleh memakan sayur dan daging ayam serta nasi selama sebulan penuh.
Sedangkan upacara Pasola adalah upacara adat untuk perdamaian. Upacara ini diwujudkan dalam bentuk perang adat. Saat upacara Pasola digelar, masing-masing suku akan berperang menggunakan kuda dan lembing kayu. Mereka saling berhadapan untuk saling menyerang dengan melempar lembing.
Meski terlihat menyeramkan, namun upacara Pasola ini justru menjadi momen perekat hubungan persaudaraan masyarakat Marapu. Ritual ini biasanya dilaksanakan saat awal musim tanam tiba.
Ketika di tanya mengenai bagaimana para tetua adat menjaga eksistensi dan kelestarian adat Marapu, mereka menjelaskan bahwa kepercayaan Marapu tidak memiliki huruf, oleh karenanya seluruh ajaran dan sistem keyakinan disampaikan melalui tutur (verbal) secara turun temurun.
Menurut Bapa Rato, ada beberapa kecerdasan lokal (local genius) yang dimiliki oleh komunitas adat Marapu yang selama ini disampikan secara turun temurun melalui cerita tutur, misalnya pengetahuan arsitektur rumah, pengetahuan sistem pertanian, pentehuan tentang cuaca (klimatologi), ilmu tanaman (botani) dan sebagainya.
"Sebenarnya jika pendidikan di sekolah menghendaki kami bisa menyediakan para tetua adat yang menguasai bidang keilmuan tersebut untuk mengajarkan ilmu-ilmu tersebut kepada para siswa" demikian penjelasan Bapa Rato kepada kami.
Sayangnya lembaga pendidikan formal yang ada belum mengakomodir niat baik tetua adat tersebut. Padahal menurut Undang-Undang no 5 tahun 2017 tentang pemajauan budaya, sebenarnya hal ini sangat dimungkinkan.
Setelah menerima penjelasan tentang sistem kepercayaan, pandangan kosmologi dan ritual adat Marapu, kami diperkenankan masuk ke dalam rumah adat. Bagi masyarakat Marapu rumah sekedar tempat bertenduh dan berkumpul keluarga, tetapi juga memiliki makna filosofis tentang siklus kehidupan dan relasi dengan alam. Hal ini terlihat dari pembagian dan fungsi ruang, posisi tiang dan bentuk bangunan yang kesemuanya mengandung makna.
Setelah melihat isi rumah, kami dan rombongan melihat batu pemakaman yang ada di pelataran di depan rumah adat. Semua kami mengira batu-batu yang mirip bilik-bilik kecil itu adalah sumur atau lumbung. Tapi ternyata batu itu adalah makam tempat menyimpan mayat orang yang sudah meninggal.
Batu itu ditutup dengan benatu besar berukuran sekitar 2M x 2M dengan tebal sekitar 10 sd 15 cm, dan berat ratusan kilo gram. Ada belasan batu makam di sekitar rumah adat Marapu di kampung tarung. Untuk membuka batu penutup diperlukan puluhan orang, dan membuka pintu batu makam merupakan bagian dari ritual pemakaman yang banyak menarik perhatian publik.
Waktu sudah semakin malam, suasana sekain gelap. Meskipun suasana terang bulan namun cuaca mendung yang menggelayut malam itu membuat kami tidak bisa menikmati terang bulan dengan baik. Sehingga kami terpaksa menggunakan lentera handpone untuk bisa melihat batu-batu makam berserakan diantara bangunan rumah adat Marapu di kampung Tarung.
Setelah beberapa saat melihat-lihat suasana kamung terung melalui temaram cahaya rembulan yang ada di celah-celah mendung, kami meneruskan perjalanan kembali ke hote untuk istirahat. Kami bersyukur malam itu bisa mereguk pengetahuan dari mata air kebudayaan yang jernih. (bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar