Selasa, 02 Agustus 2016

Selamatkan Bahasa Daerah

Selamatkan Bahasa Daerah
Minimnya Tradisi Sastra Salah Satu Faktor Kepunahan
Inline image
Bahasa-bahasa daerah atau bahasa ibu di Nusantara kini di ambang punah. Harus ada upaya revitalisasi dan dokumentasi. Ancaman itu dengan sendirinya mengancam pula kelestarian ratusan kebudayaan yang menyertai eksistensi bahasa-bahasa ini.

Hal itu dikemukakan Guru Besar Departemen Linguistik Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia Multamia RMT Lauder dan Ketua Yayasan Kebudayaan Rancage Ajip Rosidi dalam Kongres Bahasa Daerah Nusantara di Bandung, Jawa Barat, Selasa (2/8).

Dalam kongres yang dibuka Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar itu, sejumlah pakar bahasa dan budayawan menyampaikan gagasan.

Terungkap bahwa dari 706 bahasa yang ada di Indonesia, 266 di antaranya berstatus lemah dan 75 sekarat. Adapun 13 bahasa kini telah punah, yakni bahasa Hoti, Hukumina, Hulung, Loun, Mapia, Moksela, Naka'ela, Nila, Palumata, Saponi, Serua, Ternateno, dan Te'un. Hal ini diduga belum sepenuhnya disadari oleh para linguis Indonesia.

Untuk mencegah kepunahan itu, revitalisasi, inventarisasi, dan dokumentasi sangatlah mendesak. Dibutuhkan peraturan perundang-undangan yang mengatur bahasa daerah untuk memayungi berbagai kebijakan dan program, termasuk muatan lokal dalam kurikulum sekolah?. Kesadaran akan pentingnya bahasa daerah sebagai jati diri bangsa juga harus terus ditanamkan.

Guru Besar Departemen Linguistik FIB Universitas Mataram, Mahsun, juga mengutip data mengenai jumlah suku bangsa di Indonesia yang berjumlah 659. Jumlah itu adalah hasil survei dari sekitar 2.300 tempat pengamatan. Jika satu suku bangsa memiliki satu bahasa, berarti minimal sebanyak itulah bahasa daerah yang seharusnya ada.

Makin dijauhi

Salah satu faktor kepunahan itu adalah makin dijauhinya bahasa daerah karena dianggap tidak penting. Tidak hanya pengabaian oleh sekolah, bahkan orangtua pun tidak mengajarkan bahasa ibu kepada anak-anaknya. Pasangan suami-istri berlatar belakang suku berbeda lebih memilih berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia dengan anak- anaknya demi kepraktisan. "Saat ini sudah 20-an juta anak yang tidak memiliki bahasa ibu, atau bahasa ibunya adalah bahasa Indonesi?a," kata Multamia.

Generasi milenial yang fasih berbahasa Inggris seharusnya justru tidak sulit belajar bahasa daerah. Apalagi, seiring dengan komunikasi antarbangsa yang mudah melalui internet, belajar apa pun menjadi mudah. Menjadi warga dunia internasional bukan penghalang bagi seseorang untuk belajar bahasa daerah. Justru seseorang bisa disebut cendekia jika bisa menguasai tiga bahasa, yakni bahasa ibu, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris.

Budayawan Remy Sylado mengatakan, punahnya sejumlah bahasa daerah di antaranya disebabkan kurang hidupnya kegiatan sastra. Memang tidak semua daerah memiliki tradisi sastra. Tradisi sastra tulis dengan aksara tersendiri hanya dikenal di beberapa daerah, misalnya Batak di Sumatera, Jawa dan Sunda di Jawa, Bali di Bali, Bugis-Makassar di Sulawesi. Adapun sastra yang ada di Aceh, Minangkabau, bahkan Riau yang merupakan asal bahasa Indonesia ditulis dengan aksara Arab gundul.

"Memang sangat menyedihkan kalau bahasa daerah atau bahasa ibu punah. Bahasa daerah adalah kekuatan yang dapat memperkaya bahasa Indonesia dalam rangka menata kebudayaan nasional, seperti yang dirintis para pendahulu Indonesia Raya. Itulah kebudayaan nasional yang berkepribadian Bhinneka Tunggal Ika," kata Remy.

Ajaib

Menurut Ajip, para penyusun UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan tidak memikirkan masa depan bahasa ibu. Bahkan, UNESCO pada 1951 menganjurkan pemakaian bahasa ibu sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan agar mudah dipahami. Pada 1953, pemerintah menetapkan pemakaian bahasa ibu sebagai bahasa pengantar hanya sampai kelas III SD. Pada 1975, tidak ada lagi bahasa daerah sebagai pengantar. "Maka, terjadilah keajaiban. Anak-anak belajar bahasa daerah dengan pengantar bahasa Indonesia," kata Ajip.

Kepala Suku Pagu Halmahera Utara, Afrida Elma Ngato,? yang hadir sebagai peserta kongres, mengatakan, betapa bahasa daerah makin dianggap remeh. Bahasa daerah bisa dipelajari di rumah. Kurikulum muatan lokal yang seharusnya diisi dengan bahasa dan budaya lokal justru diisi dengan pendidikan bidang-bidang lain.

Idealnya bahasa-bahasa yang sudah tertolong hampir punah segera didokumentasikan dan diinventarisasikan untuk menyelamatkan berbagai konsep budaya yang terkandung di dalamnya. Namun, inventarisasi bahasa daerah tidaklah mudah, termasuk mencari informan untuk bahasa itu. Sebab, penutur bahasa berstatus sekarat itu pun sulit dicari. Itu baru inventarisasi, belum revitalisasi.


Sumber: harian Kompas edisi 3 Agustus 2016,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar